Dulu ketika saya masih kecil, kira-kira tahun 70-an hingga 80-an, sepulang dari sekolah di madrasah diniyah pada sore hari, bersama-sama teman sekampung hampir tiap hari menyempatkan bermain di Alun Alun Kaliwungu. Ya, pada era tahun tersebut, Alun Alun Kaliwungu yang berada di depan Pendopo Ex Kawedanan Kaliwungu ( sekarang ditempati Kantor Desa Kutoharjo ) merupakan ruang terbuka paling favorit bagi masyarakat Kaliwungu untuk bersantai dan berekreasi terutama pada waktu sore hari. Memang ideal sekali tempat itu digunakan sebagai arena untuk bermain bagi anak-anak kecil. Disamping lokasinya yang sangat strategis karena berada tepat di jantung kota Kaliwungu, juga sangat cocok bagi para orang tua yang ingin berekreasi gratis bersama anak-anaknya. Masih jelas betul dalam ingatan, di Alun Alun Kaliwungu pada sore hari bahkan pada malam hari terutama pada saat bulan purnama, banyak anak-anak sampai remaja yang bermain bola disitu. Tepat di depan Pendopo terdapat dua Pohon Jambe yang sangat menjulang tingginya. Nah, dari pohon Jambe inilah banyak anak-anak yang menunggu buah jambe jatuh. Pada bulan ramadhan, Alun Alun Kaliwungu akan berubah menjadi tempat untuk ngabuburit bagi warga kampung maupun santri yang ada di Kaliwungu setelah pulang dari ngaji simaan Al Qur’an yang dibaca oleh Al Maghfurlah KH. Asror Ridwan di Masjid Al Muttaqin Kaliwungu, menunggu saatnya maghrib tiba.
Dikutip dari Wikipedia, Alun-alun merupakan suatu lapangan terbuka yang luas dan berumput yang dikelilingi oleh jalan dan dapat digunakan kegiatan masyarakat yang beragam, Menurut Van Romondt (Haryoto, 1986:386), pada dasarnya alun-alun itu merupakan halaman depan rumah, namun dalam ukuran yang lebih besar. Penguasa bisa berarti raja, bupati, wedana dan camat bahkan kepala desa yang memiliki halaman paling luas di depan Istana atau pendopo tempat kediamannya, yang dijadikan sebagai pusat kegiatan masyarakat sehari-hari dalam ikwal pemerintahan militer, perdagangan, kerajinan dan pendidikan. Lebih jauh Thomas Nix (1949:105-114) menjelaskan bahwa alun-alun merupakan lahan terbuka dan terbentuk dengan membuat jarak antara bangunan-bangunan gedung. Jadi dalam hal ini, bangunan gedung merupakan titik awal dan merupakan hal yang utama bagi terbentuknya alun-alun. Tetapi kalau adanya lahan terbuka yang dibiarkan tersisa dan berupa alun-alun, hal demikian bukan merupakan alun-alun yang sebenarnya. Jadi alun-alun bisa di desa, kecamatan, kota maupun pusat kabupaten. Di hampir semua kota kabupaten di seluruh Indonesia, dapat dijumpai Alun Alun. Pada saat ini, Alun-alun biasanya dipergunakan untuk berbagai keperluan yang melibatkan banyak massa, misalnya untuk upacara hari besar, perhelatan akbar, ataupun kegiatan bersifat kemasyarakatan lainya.
Alun-alun Kawedanan Kaliwungu (dulu Kabupaten Kaliwungu) mempunyai ciri dan karakteristik yang hampir sama bahkan bisa dikatakan sama dengan alun-alun yang lain. Semua mengacu pada bentuk alun-alun dari jaman kerajaan masa lalu. Di tengah-tengah terdapat dua pohon beringin besar yang diberi pagar, yang mempunyai makna bahwa seorang pemimpin itu harus bisa memberi pengayoman kepada rakyatnya. Alun-alun juga terpisah oleh satu jalan tengah yang membelah alun-alun menjadi dua bagian yaitu bagian barat dan bagian timur. Jalan tengah itu menuju pendopo yang berada di sisi utara alun-alun. Jalan tengah mengandung makna bahwa rakyat yang akan sowan atau berkunjung ke rajanya atau pemimpinya harus menampakkan diri atau memberi salam sehingga lebih sopan, dibandingkan melalui jalan samping. Pembagian alun-alun di sebelah barat mempunyai makna kebaikan karena di sisi sebelah barat biasanya terdapat masjid (Masjid Al Muttaqin), dan sisi sebelah timur melambangkan keburukan karena biasanya di sisi sebelah timur terdapat pengadilan ataupun penjara.
Kini, keberadaan alun-alun Kaliwungu sangat jauh dari karakteristik sebuah alun-alun tersebut. Tidak hanya bentuknya, tapi fungsi alun-alun juga sudah bergeser jauh. Walaupun pada pagi hari masih nampak keberadaannya, namun coba kita lihat pada sore hingga malam hari, alun-alun Kaliwungu berubah total menjadi pasar sore kaliwungu. Ya, seperti layaknya sebuah pasar, banyak para pedagang yang membuka ‘dasaran’ untuk berdagang di situ, mulai dari yang hanya menggelar dagangan di trotoar, sampai tenda-tenda layaknya los pasar. Tidak hanya di tengah-tengah alun-alun, para pedagang juga sudah melebar di sekitar alun-alun. Dari sisi ekonomi, memang keberadaannya membawa berkah yang sangat luar biasa bagi masyarakat Kaliwungu yang sebagian besar berprofesi sebagai pedagang ataupun wiraswastawan. Dan memang keramaian pasar sore kaliwungu betul-betul membuat ‘hidup’ kota Kaliwungu. Tapi dari sisi yang lain, keadaan pasar sore kaliwungu sebagai pusat jantung kota kaliwungu saat ini menjadi sangat tidak nyaman. Coba perhatikan pada pagi hari, nampak jelas sekali tanda-tanda bahwa di tempat itu habis digunakan untuk berjualan, dimana sampah dan kayu atau besi untuk tenda masih banyak yang tercecer tidak disingkirkan. Tidakkah kita berfikiran dan berkeinginan untuk mengembalikan fungsi alun-alun yang sebenarnya ? Tidakkah ada pihak yang berkompeten mulai memikirkan untuk penataan kota Kaliwungu yang terkenal dengan sebutan Kota Santri ini, agar menjadi lebih indah dan nyaman ?
Penulis,
Mokh. Soleh, S.Kom